Komentar Gubernur dan Jati Diri Urang Sunda


Beberapa minggu yang lalu, urang sunda, khususnya kalangan seniman dan budayawan sunda, (merasa) terganggu dengan komentar yang dilontarkan oleh orang nomor satu di dataran Sunda ini. Pada kesempatan tersebut, Bapak Gubernur kita, sempet mengeluarkan statmen (kira-kira), tarian dalam seni tari Jaipong itu (identik) dengan tari erotis. Komentar orang nomor satu, yang mengukir sejarah sebagai pemenang pertama dalam kontes pilkada langsung tersebut, secara spontanitas, mengusik urang sunda yang sedang tidur nyenyak.

Tidak sebatas dari kalangan seniman dan budayawan yang memang berkompetent dibidangnya, yang menganngap komentar Bapak Ahmad Heyawan yang (katanya) bukan Budak sunda sebagai ucapan yang ngawur, ucapan dari orang yang tidak mengerti sejarah dan nilai-nilai yang terkandung dalam tari Jaipong tersebut. Bahkan, orang yang (maaf) awam dalam bidang seni pun, mereka dengan penuh rasa cinta daerah yang menggebu-gebu, mengklaim Bapak Gubernur, telah menyakiti Urang Sunda secara keseluruhan.

Dari sekian komentar yang mencuat kepermukaan, yang dikeluarkan oleh berbagai kalangan, saya mendapatkan komentar dari salah seorang sesepuh Jawa-Barat, yang sekarang berdomisili di DI Yogyakarta, yang sering di sebut oleh masyarakat (khususnya yang berasal dari Jawa-Barat) dengan julukan Mang Demang. Ketika saya singgung seputar pernyataan Gubernur, dia mengatakan “Keun wae, da’ Gubernurna ge lain urang sunda. Bongan salah urang nyalira, anu teu peduli ka Budaya nyalira” kurang lebih seperti itu.

Yang (saya anggap) menarik, adalah kata kata Bongan salah urang nyalira, anu teu peduli ka Budaya nyalira. Kata-kata tersebut, menyadarkan saya yang selama ini merasa bangga ketika menikmati modern dance, dari pada harus melihat Jaipongan, sisingan dan lain-lain. Saya lebih senang menonton film-film dengan tema kontemporer, dari pada harus menyaksikan Kang Asep Sunandar, yang mengendalikan Cepot. Namun ketika seni tradisional Jaipong di sintrek, ketersingunggan saya (mungkin) melebihi inohong-inohong yang selama ini, dengan penuh tanggung jawab memelihara kekayaan budaya kita tersebut.

Ada berbagai kemungkinan yang (mungkin) bisa ditarik sebagai kesimpulan dari komentar Gubernur tersebut. Pertama, Gubernur Ahmad Heryawan, sengaja melemparkan komentar seperti itu, dengan tujuan untuk menggugah cinta ke-daerah-an dari masyarakat Pasundan. Dalam hal ini, (mungkin) Gubernur melihat bahwa, kekayaan budaya yang kita miliki, statusnya la yamutu fiha wala yahya, ada namun tidak ada. Mengingat minimnya regenarasi yang memperdalam seni khas Jawa-Barat tersebut, kemungkinan untuk lenyap dari muka bumi Parahyangan ini sangat terbuka. Dan Gubernur sangat paham, budaya kita. Kita baru akan marah, dan baru akan bangga menjadi diri sendiri, setelah identitas kita diinjak-injak. Gubernur ingat betul, ketika Batik dan Reog Ponorogo di klaim oleh “tetangga kita,” berbagai posko dibuka dimana-mana, untuk membela Batik dan Reog ponorogo tersebut. Bahkan orang yang selama ini, anti tarhadap Batik, dengan semangat 45, mereka siap jika sewaktu-waktu, genderang perang ditabuh.

Dengan melempar komentar seperti itu, Gubernur berharap, tari Jaipong akan kembali semarak, dan diminati oleh mayarakat yang mendiami tanah Si Kabayan, Nyi Iteung ini. Dan ternyata, misi Gubernur (lumayan) terealisasi, dengan banyaknya kalangan yang mengecam Gubernur.

Sehingga, Tari Jaipong dan budaya-budaya sunda lainnya, kembali eksis kepermukaan, dan mendapat perhatian spesial dari warganya. Dengan demikian, tradisi kita akan terus bertahan dan bisa diwariskan kepada penerus-penerus kita di dataran sunda ini. Tidak hanya berhenti disitu, namun juga generasi yang akan datang, mampu untuk menghayati sekaligus mengamalkan nilai-nilai positif yang terkandung didalamnya.

Kedua, Gubernur (dalam sudut pandangnya) benar-benar melihat, bahwa tarian dalam Jaipong yang terdiri dari 3G (Goyang, Geyol, Gitek) tersebut, perlu adanya sentuhan-sentuhan yang elegant, sehingga tarian dalam Jaipoing tidak memancing naffsu lawamah, dari anak-cucu Adam, yang tanpa dipancing dengan 3G pun, mereka kerap kali terpancing dengan sendirinya. Namun kemudian tidak mengurangi subtansi nilai-nilai filosofis yang terkandung didalamnya. Dengan demikian, pelaku seni tari Jaipong, tidak kemudian terjerat dengan Undang-undang Pornografi dan Pornoaksi.

Masih sangat banyak lagi kemungkinan-kemungkinan yang lain, yang tersirat dalam diri komentar sang Inohong tersebut. Namun, dari sekian banyak kemungkinan-kemungkinan tersebut, mudah-mudahan akan berdampak positif terhadap warisan-warisan luhur nenek moyang. Bagaimanapun juga, meskipun tidak muthlak, dukungan dari pemimpin (atau penguasa?), sangat dibutuhkan untuk generasi-generasi yang akan datang. Dan mudah-mudahan juga, dengan adanya incident tersebut, kita, warga jawa-Barat secara keseluruhan, tidak lagi merasa kuper, ketika mempelajari dan memperdalam budaya-budaya tradisional, juga tidak malu lagi untuk mengatakan Abdi, Anjeun Jeung Sajabina¸ dari pada harus mengatakan, Lu, Gua dan lain-lain.

Wallahu ‘alam

~ oleh abes08 pada 28 Maret 2009.

Tinggalkan komentar